Social Icons

Pages

Sabtu, 18 September 2010

Cerpen_ku 3

Sang Pemimpi


Sambut hari baru di depanmu
Sambung mimpi siap tuk melangkah
Raih tanganku jika kau ragu
Bila terjatuh ku kan menjaga
Kita telah berjanji bersama
Taklukan dunia ini

Menghadapi segala tantangan
Bersama mengejar mimpi-mimpi
Berteriaklah hai sang pemimpi
Kita takkan berhenti di sini
Kita telah berjanji bersama
Taklukan dunia ini
Menghadapi segala tantangan
Bersama.......

Bersyukurlah pada yang maha kuasa
Hargailah orang-orang yang menyayangimu
Yang selalu ada setia di sisimu
Siapapun jangan kau pernah sakiti
Dalam pencarian jati dirimu
Dan semua yang kau impikan
Tegarlah sang pemimpi



Mengejar Sebuah Mimpi
Pancaran terik mentari tak menghentikan langkah kakiku. Mentari pun mulai menunjukkan cahayanya. Dan hembusan angin pagi tampak membekaskan aura sejuknya. Keringatku yang  bercucuran tak kuhiraukan sekalipun. Meskipun ragaku telah letih, tapi aku terus bersemangat karena kedua sobatku ini yang selalu ada menemaniku.  Sodiq dan Ardo itulah nama mereka.
Kami mulai berjuang bersama sejak masuk SMA ini. Mengangkut ikan-ikan hasil pelayaran, itulah satu-satunya jalan hidup kami. Dari pinggiran Pantai Damas sampai pasar tradisional, kurang lebih sekitar dua kilo meter yang kami tempuh setiap harinya untuk mengangkut berkilo-kilogram ikan ini. Bersama dengan buruh-buruh angkut lainnya kami berjuang bersama mengadu nasib.
            Memang, kami bertiga adalah yang termuda disini. Tapi tak membedakannya, sekali buruh kami tetaplah hanya seorang buruh angkut. Kupercepat langkah kakiku bersama kedua sobatku agar pekerjaan kami cepat selesai. Ku lihat sebuah jam dinding terpampang di sebuah warung pasar tradisional yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Langsung kupakai seragam sekolahku dan berlari meninggalkan pasar ini bersama mereka.
            Jarak sekolahku yang biasa kami tempuh dengan berjalan kaki memerlukan waktu sekitar setengan jam. Tetapi pagi ini kami bangun agak kesiangan, jadi kami harus menempuh jarak ke sekolah dengan waktu hanya lima belas menit saja.Pukul tiga pagi menurut kami sudah kesiangan karena biasanya pukul setengah tiga pagi kami sudah beranjak menuju ke lembaga.
 Tak kuhiraukan jalanan yang terjal dan sampah-sampah yang berserakan ini. Aku terus berlari mengejar waktu, mengejar teriknya mentari dari ufuk Timur. Kancing seragamku yang tinggal tiga biji dan tampak kumal ini tak kuacuhkan sedikitpun.
            Hamparan sawah membentang luas di hadapanku. Berjajar  tanaman padi yang tampak menguning dengan senyum para petani yang menggairahkan. Terus kutapakkan kakiku untuk terus berlari menuju ke SMA Sinar Bakti. Satu-satunya SMA yang ada di Desa Damas ini. Desa luas yang terpencil, jauh dari keramaian kota.
            Tapi kami sangat beruntung bisa melanjutkan sekolah, yang menjadi impianku seperti saat ini.  Aku hanyalah seorang anak nelayan miskin  dari kampung sebelah, yang bercita-cita melanjutkan sekolah di SMA ini. Karena keterbatasan pendidikan di kampung asalku. Dengan berjarak 30 kilometer, aku bersama ayahku dapat mencapai Desa ini menaiki sepeda bututnya . Sampai aku bertemu dengan Sodiq yang ternyata sekampung denganku dan Ardo meskipun ia anak asli dari desa ini.
Tetapi kami sama, hanyalah seorang anak nelayan miskin.  Kami bertiga tinggal bersama dalam sebuah tempat penyewaan dengan harga murah karena tempat ini dulunya adalah bekas gudang sisa-sisa kardus yang masih tampak berantakan dimana-mana. Hanya menyisakan sebuah kamar kecil untuk kami bertiga.
            Kami jauh dengan kampung halaman, tetapi tak memberatkanku untuk terus menuntut ilmu. Meskipun kami harus bekerja untuk membiayai sekolah dan meringankan beban orang tua. Memang,  jarang ada anak seusia kami yang hidup seperti ini. Karena kami anak lelaki kampung Pangandaran sudah semestinya mampu memenuhi hidup sendiri seperti ini.  Anak-anak lulusan SMP di kampung kami, kebanyakan tidak meneruskan sekolahnya dan hanya menjadi buruh angkut seperti kami.
****
            “Arey !!!”, bentak Pak Hangkoro seketika melihatku berlari menuju halaman sekolah. Lihatlah dirimu itu, kau tak tampak seperti pelajar pada umumnya dan lagi-lagi kamu datang terlambat ke sekolah. Apalagi dengan kedua sobatmu itu”, lanjut Pak Hangkoro sambil menunjuk Sodiq dan Ardo yang setengah berlari menyusulku.        
            “Saya begitu kecewa dengan kalian, kancing baju kalian yang tak lengkap apalagi seragam yang kumal seperti itu, tak layak kalian sekolah disini !!!”, bentaknya.
            “Asal bapak tahu ya ! kami ini salah satunya murid teladan di sekolah ini, bukan seperti anak bapak yang bodoh itu, apalagi dia juga tidak diterima di SMA ini”, ejek Ardo yang tak mau kalah dengan Pak Hangkoro.
            “Eh.....apa-apaan ini, kamu sudah mulai berani ya dengan saya, saya bisa saja mengeluarkan kamu dari sekolah ini”, katanya kasar.
            “Maafkan kami Pak, kami berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan kita lagi”, kataku pelan sambil memegang bahu Ardo agar emosinya tidak memuncak lagi dan mencegah agar kepalan tangannya tidak sampai ke muka Pak Hangkoro.
            “Hari ini kalian tidak boleh masuk ke kelas, mulai detik ini bersihkan seluruh kamar mandi yang ada di sekolah ini sampai pulang sekolah nanti”, balasnya dan langsung bergegas meninggalkan kami.
****
            “Bangsat !! kau Ar... !! gara-gara kamu, kita jadi nggak bisa masuk kelas,” bentakku pada Ardo. “Asal kamu tahu Rey, harga diri kita sudah diinjak-injak oleh Pak tua itu, kamu mau orang miskin seperti kita tidak bisa maju karena direndahkan oleh orang seperti itu”, balasnya tak kalah.
            “Hey !  kayak anak kecil saja kalian, memang betul perkataanmu Ar, tapi tak semestinya kamu bicara seperti itu, kamu mau jika dia mengeluarkanmu dari sini. Kita memang membencinya, tapi tak semestinya kita berbicara kasar dengannya. Kita harus bersikap dewasa, menghadapi segala tantangan ini. Dan persahabatan kita tidak boleh putus hanya karena masalah sekecil ini”, kata Sodiq yang sedari tadi hanya diam.
            Hari demi hari silih berganti. Tak terasa hari yang kami tunggu akhirnya datang juga. Setelah dua tahun menempuh pendidikan di SMA ini, akhirnya akan ditentukan penilaian raport kami dan sang juara kelas kali ini.
Ayahku jauh-jauh datang menaiki sepeda bututnya hanya untuk melihat seberapa jauh kemampuan anaknya saat ini. Pengambilan raport berlangsung dalam sebuah aula yang telah disiapkan tempat duduk berurutan dengan juara yang diperoleh masing-masing. Memang, setiap kali pengambilan raport selalu begini.
Alhamdulillah peringkatku naik dari juara delapan menjadi lima dari 412 murid. Sedangkan Ardo, ada di juara ke tujuh. Dan Bakti tetap dengan mendapat peringkat ke satu.
Tampak senyuman di raut wajah ayah. Betapa puasnya beliau akan peringkatku ini. Aku takkan mengecewakanmu dan tunggu aku untuk mengangkat derajatmu yah!!.
****
Selama berbulan-bulan kami menjalani hari-hari seperti biasa. Sampai suatu saat aku mulai berfikir, akankan aku bisa melanjutkan sekolahku esok ? muncul dalam benakku pemikiran-pemikiran itu.
Aku mulai merasa lelah, dan patah arang menjalani kehidupanku ini. Untuk apa aku meneruskan ke SMA, toh esok hari nanti aku takkan bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi. Apa gunanya aku bekerja sekeras ini untuk membiayai sekolahku, tapi pada akhirnya aku takkan bisa menggapai mimpi-mimpiku.
Aku tlah kehilangan akal dan semua semangatku. Untuk apa aku mengumpulkan uang dari hasil kerjaku ini yang takkan cukup membiayaiku ke perguruan tinggi.
Semua pekerjaankupun jadi terbengkalai. Bahkan, seminggu ini aku tak masuk sekolah dan hanya merenungi nasibku yang diambang batas ini. Bujuk rayu dari kedua sahabatku tak cukup untuk menyemangati hidupku.
Hingga pada waktu pembagian raport semester satu ini, nilaiku merosot tajam. Aku hanya memberikan angka 20 kepada ayahku. Tampak senyuman dari raut wajah ayah yang tetap sama seperti dulu, pada waktu aku masih mendapat peringkat ke lima.
“Rey....!!!! apa sih maumu itu, apa kau tak melihat perasaan bangga ayahmu kepadamu, meskipun kau tak seperti dulu lagi. Dia jauh-jauh datang kemari tapi apa yang kau berikan padanya, hah !! apa !!!”, bentak Ardo padaku.
“Ingat Rey, dari awalpun kita selalu bersama-sama menuntut ilmu, maka di akhirpun kita juga harus selalu bersama. Peganglah tangan kita dan berjanji untuk bersemangat layaknya Sang Pemimpi”, sambung Sodiq dengan semangat.
“Kita disini untuk belajar. Belajar untuk menghilangkan kebodohan dan ancaman dari lawan. Membangun negara untuk masa depan kita. Kita harus berjuang mendapatkan beasiswa itu. Hanya tiga  murid terpilih yang lolos dalam seleksi itu. Beasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Mesir, Al-Azhar University. Itulah impian kita. Kesempatan itu tak boleh kita sia-siakan dan itu tidak terjadi dua kali, ingat itu Rey!”, sambung Ardo.
Air mata mulai membasahi pipiku, dan tak bisa kutahan lagi. Memang benar semua yang mereka katakan.
Seringkali orang berlatih untuk menjadi sukses, padahal seharusnya mereka berlatih untuk menghadapi kegagalan. Kegagalan jauh lebih umum daripada sukses. Kemiskinan jauh lebih menjamur daripada kekayaan. Dan kekecewaan jauh lebih normal daripada kepuasan.
Langsung kugenggam erat kedua tangan mereka. Dan kami langsung berlari menelusuri pinggiran Pantai damas. Kita akan terus berlari layaknya Sang Pemimpi, yang takkan pernah lelah untuk menjadi yang terbaik di dunia ini.
Persahabatan merupakan hadiah seorang teman untuk hidupku. Suatu saat nanti, kami yakin Tuhan akan memberikan kesempatan untuk kita menjadi yang lebih baik. Dengan semangat dan keikhlasan. Tegarlah Sang Pemimpi !!!!! Jangan takut untuk maju !!!!!!!!!!!!!!!!

“Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the word”.....
“Kesenangan berasal dari dunia eksternal, sedangkan kebahagiaan berawal dari dunia internal. Yaitu dari hati dan pikiranmu sendiri”.....

THE END




Aku terinspirasi membuat cerpen ini dari sebuah film 'Sang Pemimpi' dengan novel yang sama karya Haruka Hirata yang mebuatku tersentuh dengan pengorbanan sekelompok remaja untuk menggapai sebuah cita-cita. Untuk para pemuda sebagai penerus bangsa...cayoo!! gapailah mimpimu setinggi langit, tp jgn hny bermimpi tp dengan berdoa dan berusaha !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

1 komentar:

  1. Maaf ada sdikit kata yg salah dlm bacaan..dan untuk bait kata yg berwarna merah seharusnya ittu berada di barisan paling akhir..
    thankz untk tmand2 yg membaca!!!!

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Welc0me to my Website...Sun^_^

Sample Text

Assalamualaikum wr. wb.